Sehat

November 10, 2022 0 Comments

Renungan Harian Kamis, 10 November 2022

Bacaan : Mikha 7

Ayat Pokok : Mikha 7:2-3

“Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan.”

Shalom… Selamat Pagi bapak, ibu dan saudara yang terkasih dalam Tuhan.  Nama yang diberikan oleh orang tua kepada setiap anak-anaknya selalu terkandung doa dan harapan.  Ketika saya praktek pelayanan di Jember, ada seorang jemaat yang memiliki nama “Waras”. Kebetulan beliau adalah salah satu pelayan musik di sana, saya bertanya kepada beliau apakah ketika beliau kecil dulu sakit-sakitan. Beliau menjawab; tidak. Ini adalah doa orang tua saya bagi saya dan pelanggan yang datang untuk membeli obat di toko obat milik orang tua saya.

Waras biasanya dihubungkan dengan keadaan dimana waktu kecil sering sakit- sakitan, tetapi ternyata tidak. Dalam bahasa Surabaya, arti “Waras” adalah sehat. Oleh sebab itu ketika bertemu teman lama, kita terkadang menyapanya, “Yo opo kabare, waras tah?” Namun di Jawa Tengah, “waras” dapat diartikan “tidak gila.” Jadi “ora waras” artinya “gila.”

Kita juga sering mendengar nasehat jika ada dua orang bertikai,; “sing waras ngalah” [yang nda gila mengalah].  Ternyata di dalam kamus bahasa Indonesia arti waras ada tiga: sehat jasmani, sehat mental (ingatan) dan sehat rohani. Jadi kalimat “yang waras mengalah,” bisa diartikan yang lebih sehat rohani atau yang tidak gila harusnya yang mengalah.

Kita juga mendengar kalimat Bahasa Jawa, “zamane zaman edan, nek ra ngedan ra keduman.” Artinya, zaman sudah gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian. Apa maksud sebenarnya kalimat ini? Maksudnya adalah zaman di mana hati nurani telah mati. Zaman orang pada sakit mental, di mana kebenaran diputarbalikkan tanpa rasa bersalah. Yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah. Sehingga kita sering mendengar tidak ada keadilan, karena nurani yang mati tidak berpihak kepada yang benar tetapi kepada keuntungan sesaat, yaitu harta dan kekuasaan.

Jika demikian, pertanyaannya sekarang adalah, apakah benar hati nurani kita sudah benar-benar mati? Bukankah kebenaran tak bisa dibungkam? Kita berada di zaman kebebasan berpendapat dan juga didukung oleh media sosial yang relatif terbuka dan tanpa sensor, kebenaran atau kesalahan susah disembunyikan. Kekuasaan “informasi” sulit untuk dimanipulasi.

Hari-hari ini kita semua sedang diuji, apakah hati nurani kita mati? Atau hati nurani kita masih jernih? Jika jernih maka kita tidak akan suka melegalkan segala cara demi mencapai tujuan. Siapapun kita, apalagi jika ada diantara kita adalah seorang figur publik, pasti kehidupan anda selalu disoroti. Semua pencitraan tak akan mempan lagi, semua bisa dengan transparan dinilai dan menilai.

Hari-hari ini juga marilah kita bersama periksa diri kita sendiri apakah kita “waras” atau “tidak waras?”

Kalau motivasi hati kita benar dan tulus dalam mengerjakan pelayanan kita ataupun mengerjakan sesuatu bagi orang lain, kita sedang menjaga kewarasan.

Jika kita hanya berfokus kepada diri sendiri, sehingga penuh manipulasi, maka kita sedang tidak waras. Salam sehat, tetep Waras dan selalu semangat.

Amin.

Tuhan Yesus Memberkati

DS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *