PELANGI AKAN SELALU MUNCUL

Renungan Harian Youth, Rabu 11 Januari 2023
Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.
– Habakuk 2:1
Nabi Habakuk bingung dan geram melihat betapa banyak kejahatan di sekelilingnya. Betapa banyak tekanan dan kesusahan di sekelilingnya. Tuhan seakan tidak nampak, keberadaan-Nya dipertanyakan, serasa enggan untuk menolong umat-Nya. Ia pun berdoa dan berharap kapan Tuhan mau turun tangan, tolong jangan diam saja. Habakuk menuntut jawaban Tuhan, ia menantikan penjelasan Tuhan.
Apa yang menjadi jawaban Tuhan bukan berupa pembebasan bangsa Yehuda dari bangsa Kasdim seperti yang diharapkan oleh Habakuk. Jawaban Tuhan hanya dalam bentuk pengharapan pada masa yang akan datang, yaitu Tuhan akan memulihkan keadaan umat. Dalam sudut pandang manusia, mungkin jawaban Tuhan dianggap tidak memuaskan karena orang-orang Yehuda sudah dalam kondisi kritis. Mereka dijajah, dikepung, bahkan dianiaya oleh bangsa Kasdim. Mereka butuh pertolongan Tuhan secara konkret.
Namun cara berpikir manusia berbeda dengan rancangan Tuhan.
Jawaban Tuhan tidak dapat ditafsir sebagai bentuk pengabaian terhadap umat-Nya. Ia selalu memikirkan apa yang terbaik untuk umat kepunyaan-Nya. Di balik jawaban itu, Tuhan menghendaki bangsa Yehuda bersabar dalam menjalani berbagai proses yang ada. Umat Allah harus belajar percaya bahwa mereka aman dalam tangan Tuhan yang perkasa. Di sini umat diajak untuk bertahan dalam iman dan menjaga diri dengan hidup dalam kebenaran, betapa pun sukarnya situasi yang dihadapi oleh mereka. Karena itulah, Tuhan memerintahkan Habakuk mencatat apa yang dilihatnya diukir di atas loh-loh. Tujuannya bukan hanya untuk dibaca orang saja, tetapi sebagai kesaksian dan bukti untuk masa yang akan datang. Loh tersebut akan disimpan sebagai dokumen peringatan yang bisa menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. Melalui proses ini, pengharapan itu akan menggema dalam sanubari umat-Nya, yaitu gema yang mengarahkan setiap hati hanya tertuju pada Tuhan dan janji-Nya.
Kehidupan ini memang penuh jurang kepedihan dan jalan penderitaan yang berliku. Ada keluarga yang pergi berlibur untuk bersukacita bersama tetapi pulang membawa jasad anaknya. Ada orang baik ditekan, orang jahat dipuja, sepertinya tidak ada keadilan. Semua itu membuat kita bertanya, di manakah Tuhan yang katanya baik kepada orang-orang yang mengasihi-Nya? Tuhan nampak bisu dan tuli.
Bersama Habakuk kita menjerit, “Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar… Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan…? … kekerasan ada di depan mataku” (Hab. 1:2-3). Habakuk mewakili kita semua, setelah menyampaikan protesnya, duduk dalam keheningan menunggu pertanggungjawaban Allah.
Habakuk senantiasa mengungkkapkan imannya kepada Tuhan, kendati ia dan umat sedang mengalami masa-masa yang sangat sulit. Justru iman manusia akan diuji melalui saat-saat sulit itu, karena Tuhan menyambut setiap orang yang hidup oleh iman.
Hanya tersisa satu keyakinan yang dipegang erat oleh Habakuk, Tuhan tidak pernah jahat, Dia selalu ingin dan siap menolong umat-Nya. Keadaan masih membingungkan tapi iman Habakuk yang teguh menuntunnya perlahan melihat karya Tuhan di balik semua itu. Ia akhirnya bersorak sorak, beria-ria di dalam Tuhan karena Dia menyelamatkan. Habakuk bisa merasakan bahwa Tuhan-lah sumber kekuatannya (Hab. 3:18-19)
Rekan-rekan youth, iman tidak berarti percaya tanpa kekuatiran, tetapi iman itu lahir dari pergumulan-pergumulan ketika kita mengalami banyak kekuatiran. Iman yang sesungguhnya berasal dari proses kehidupan yang nyata, dari kekuatiran, dari ketakutan yang nyata, tapi lalu lahir sebuah keyakinan, sebuah kepercayaan bahwa Tuhan tetap menyertai kehidupan kita.
Dalam hidup ini mungkin ada doa yang belum dijawab oleh Tuhan. Janganlah putus asa dan menyerah sebab Ia tidak pernah meninggalkan kita. Bersabarlah dalam iman dan keyakinan yang teguh, niscaya kita akan mengalami janji-Nya.
Bisakah di balik segala kebingungan kita dalam menantikan pertolongan Tuhan, dari segala penderitaan kita, ada keyakinan teguh bahwa Allah sedang merasa pedih – dan menangis – bersama kita? Kita diam-diam bertahan, diam-diam menderita, dan sabar menunggu. Sampai berapa lama biasanya kita sanggup menunggu hujan reda? Sampai kita bisa melihat pelangi, seiring cerahnya mentari muncul! Salam menanti pelangi.
Amin, Tuhan Yesus Memberkati
RM – YDK