“YANG TERSISA YANG SETIA”

Renungan Harian Senin, 12 Mei 2025
📖 Hakim-Hakim 8:33-35; 1 Raja-Raja 19:18; Roma 13:11-14
Pendahuluan
Shalom, Di tengah dunia yang semakin gelap dan menyimpang dari kebenaran, kita sering bertanya: adakah yang masih setia kepada Tuhan? Seperti pada masa Gideon dan para hakim setelahnya, Israel mengalami kemerosotan rohani. Setelah Gideon wafat, bangsa Israel kembali menyembah Baal dan melupakan Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari musuh. Bahkan kebaikan Gideon pun dilupakan. Masa-masa kelam ini menunjukkan bahwa kesetiaan manusia bisa pudar begitu cepat ketika tidak berakar dalam Tuhan.
Namun kabar baiknya, Tuhan selalu memiliki sisa yang setia. Seperti saat Elia merasa sendirian, Tuhan menegaskannya bahwa masih ada 7.000 orang yang tidak menyembah Baal (1 Raj. 19:18). Demikian pula saat ini—di tengah arus zaman yang makin menjauh dari Allah—Tuhan tetap memelihara umat yang setia, yang tidak ikut-ikutan dunia, melainkan berdiri teguh dalam iman.
Kesetiaan di Tengah Kemerosotan Moral
Tola dan Yair, dua hakim setelah Abimelekh, tidak tercatat melakukan mukjizat besar atau perang dahsyat, tetapi mereka memimpin selama 45 tahun masa damai di tengah kehancuran moral dan kekacauan. Mereka tidak populer, tapi mereka setia. Mereka adalah contoh dari orang-orang yang tidak mencari sorotan, tapi menjalani hidup dengan taat kepada Allah. Kesetiaan seperti inilah yang berharga di mata Tuhan.
TOLA – Simbol Kerendahan Hati dan Pengorbanan
Tola adalah hakim Israel yang disebut berasal dari suku Isakhar, seorang yang mungkin tidak menonjol secara politik atau militer, namun kehadirannya sangat penting pada masa itu. Namanya sendiri berarti “cacing merah”—sebuah makna yang pada awalnya mungkin terdengar rendah, bahkan hina. Namun justru dalam kerendahan arti namanya terdapat pesan rohani yang sangat dalam.
Dalam budaya Ibrani, “Tola” berasal dari kata Ibrani “tôlā‘” (תּוֹלָע), yang juga merujuk pada sejenis cacing penghasil pewarna merah tua/kirmizi yang digunakan dalam bahan kain berharga untuk keperluan ibadah di bait Allah. Cacing ini dikorbankan untuk mengeluarkan warnanya. Dengan kata lain, Tola melambangkan pengorbanan, kerendahan diri, dan pelayanan dalam keheningan—ia tidak tercatat melakukan hal-hal besar di mata manusia, namun pelayanannya menciptakan ketenangan, stabilitas, dan perdamaian selama 23 tahun kepemimpinannya.
Hal ini juga paralel dengan gambaran tentang Yesus dalam Mazmur 22:6, “Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dan dihina oleh orang banyak.” Yesus merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:5-8), untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rohani. Maka, Tola adalah gambaran dari pribadi yang rela menjadi kecil agar orang lain hidup dalam damai. Meski tak populer, ia setia.
YAIR – Simbol Terang, Pemulihan, dan Damai
Setelah Tola, bangkitlah Yair sebagai hakim Israel selama 22 tahun. Namanya berarti “ia akan mencerahkan” atau “pembawa terang”. Dalam konteks rohani, Yair adalah simbol dari terang Tuhan yang hadir untuk menerangi kegelapan moral dan kehancuran bangsa. Ia bukan sekadar pemimpin administratif, tetapi menjadi alat Tuhan dalam memberikan keteduhan dan kestabilan.
Menariknya, Alkitab mencatat bahwa Yair memiliki 30 anak laki-laki yang masing-masing menunggang keledai jantan dan memerintah di 30 kota yang disebut Hawot-Yair (Kota-Kota Yair). Ini menandakan bahwa Yair adalah sosok yang memiliki hikmat, kemampuan manajemen, serta pengaruh luas terhadap generasinya. Keledai dalam konteks Alkitab melambangkan kedamaian, bukan peperangan. Artinya, masa kepemimpinan Yair adalah masa damai dan teratur. Ia menanamkan warisan rohani dan sosial kepada keturunannya—bukan hanya dalam bentuk kota atau kekayaan, tetapi penyertaan damai Allah yang nyata.
Yair bisa dilihat sebagai bayangan dari Yesus Kristus, Terang Dunia (Yohanes 8:12), yang membawa damai dan kehidupan bagi banyak orang. Seperti Yair yang mampu mempersiapkan tempat dan kendaraan perdamaian bagi putra-putranya, Yesus menyediakan “warisan rohani” dan damai sejahtera bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Roma 8:17).
Bagian 2: Menjadi Sisa yang Setia dan Garam Dunia
Matius 5:13 menyebut kita sebagai garam dunia. Garam bukan hanya memberi rasa, tetapi juga mengawetkan, membersihkan, bahkan membunuh racun. Begitu juga kehadiran kita di dunia ini:
- Mengawetkan nilai-nilai kebenaran di tengah pembusukan moral.
- Menyucikan lingkungan kita dengan hidup yang kudus.
- Membuat orang lain “haus” akan Kristus melalui kesaksian hidup kita.
Garam yang baik adalah yang asin—yang tidak kehilangan pengaruhnya. Kita dipanggil bukan untuk menjadi seperti dunia, tapi untuk menjadi seperti Yesus, supaya dunia melihat harapan sejati melalui hidup kita.
Menjadi “yang tersisa yang setia” tidak harus terkenal. Kita tidak harus membuat keajaiban besar, tetapi cukup setia, jujur, dan hidup dalam terang Kristus. Kesetiaan yang konsisten, meskipun tidak dikenal manusia, sangat berharga di hadapan Allah. Ingatlah bahwa Tuhan tidak mencari orang populer, tetapi orang yang bersedia hidup benar meskipun di tengah zaman yang salah.
REFLEKSI DIRI
- Apakah aku masih setia kepada Tuhan ketika banyak orang di sekitarku meninggalkan-Nya?
- Apakah hidupku bisa menjadi “garam” yang memurnikan, menerangi, dan membangkitkan rasa haus akan Kristus?
HIKMAT HARI INI : Tuhan tidak mencari yang hebat, Dia mencari yang setia.
Rangkuman Khotbah
Pdt. Daniel Rahardjo