LAMBAT UNTUK MARAH

July 25, 2024 0 Comments

Renungan Harian Youth, Kamis 25 Juli 2024

Yakobus 1:19, Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;

“Sumbu pendek” adalah sebuah julukan yang disematkan kepada mereka yang mudah terprovokasi oleh hasutan tertentu. Orang-orang yang cenderung temperamental dan mudah tersulut emosinya, dianalogikan seperti “sumbu pendek” yang cepat habis dan meledak bila dibakar. Seperti yang kita sering lihat, kaum “sumbu pendek” begitu mudahnya dimanfaatkan oleh orang lain. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bodoh, kata Raja Salomo.

Rekan-rekan youth, pada faktanya, sekarang ini Konflik dalam berkomunikasi banyak dipicu hanya karena satu sama lain lebih ingin didengar dan banyak berbicara daripada bersikap mau lebih dulu dan lebih banyak mendengar.  Karena dengan banyak berbicara daripada mendengar, kita bisa terpancing oleh ego, kesombongan, dan sikap tidak mau kalah dari diri kita. Kita merasa akan lebih menang dengan melancarkan kata-kata lebih banyak dan lebih cepat. Akhirnya, tidak ada titik temu untuk saling mengerti.

Terkadang, kita cenderung terburu-buru memberikan respons atau berbicara tanpa sepenuhnya memahami apa yang sedang disampaikan oleh orang lain.

Pengkhotbah 7:9, Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh

Banyak orang tertipu dengan menganggap bahwa ketersinggungan adalah lambang dari kekuatan, kebesaran, keberanian, dan pride (kebanggaan). Mereka menyangka jika mereka tidak tersinggung maka mereka adalah orang yang lemah, mereka berpikir jika mereka memaafkan orang lain, mereka membiarkan harga diri mereka diinjak-injak.  Pengertian seperti itu adalah pengertian yang salah. Ketersinggungan bukanlah lambang dari kekuatan, keberanian ataupun kebanggaan. Ketersinggungan adalah lambang dari keboodohan.

Di masa kini, keberadaan internet dan sosial media membuat kita makin mudah menjadi sumbu pendek. Narasi-narasi yang beredar menggiring publik sehingga mudah sekali terprovokasi dan tersulut. Pada akhirnya, kekacauan muncul dimana-mana. Yang menang adalah mereka yang melakukan provokasi tersebut. Kalangan sumbu pendek itu sendiri? Tidak ada untungnya bagi mereka! Sebaliknya, “amarah menetap dalam dada” mereka, seperti orang bodoh.

Meski keberadaan mereka makin menjamur berkat bantuan internet, sumbu pendek sudah ada bahkan sejak zaman Tuhan Yesus. Aneh sekali orang-orang Yahudi menghendaki Yesus disalib (Yoh. 18:28-19:16), padahal Dia tidak pernah salah apa-apa terhadap mereka, bukan? Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang pernah menerima atau menyaksikan mukjizat-Nya dan mendengar pengajaran-Nya yang penuh hikmat. Jadi, mengapa mereka berseru “salibkan Dia!”? Apakah mengikuti kehendak para imam kepala? Jawabannya karena mereka adalah kalangan sumbu pendek yang mudah sekali terprovokasi untuk mewujudkan keinginan para imam kepala yang iri dan merasa tersaingi oleh Yesus. Sementara itu, para sumbu pendek ini sendiri tidak menerima keuntungan apa-apa.

Kita dengan mudahnya mengecam golongan ini atau itu sebagai “sumbu pendek”. Namun, bagaimana jika kita berkaca? Apa yang kita rasakan ketika membaca chat di grup-grup media sosial yang tidak jelas sumber dan kebenarannya? Jangan-jangan kita pun terprovokasi dan menjadi lekas marah.

Memang, jurnalisme di masa kini telah diselewengkan. Fungsinya bukan lagi untuk memberitakan fakta melainkan untuk menggiring opini. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Jadilah orang yang berhikmat yang tidak mentah-mentah menerima segala informasi, tetapi selalu memeriksa kembali kebenaran informasi tersebut. Selain itu, hendaklah kita cepat dalam mendengar firman Tuhan, tetapi lambat dalam berkata-kata apalagi marah. Itulah sebabnya Iblis berusaha mati-matian untuk terus membuat kita mudah tersinggung, suka marah, dan terus mempertahankan dendam, karena dengan demikian kita tidak mengampuni orang lain, dan kemudian kita tidak bisa menerima pengampunan dari Bapa.

Iblis berusaha supaya kita menjadi miliknya. Ia berusaha mencuri, membunuh dan lalu membinasakan kita.

Tentunya kita pernah marah. Orang sesabar apa pun akan menghadapi pergumulan ini. Namun sebagai anak-anak Tuhan, marilah kita renungkan nasihat yang dituliskan dalam firman Tuhan. Ketika kita marah, janganlah kita sampai berbuat dosa dengan perkataan kotor, apalagi sampai melakukan kekerasan yang dapat merugikan orang lain maupun diri kita sendiri. Belajarlah dari pengalaman Kain yang marah kepada Habel, atau Raja Saul yang mendengki Daud. Mereka berdua tidak segera mengendalikan kemarahan dalam hati mereka, sehingga berujung pada dendam dan mempengaruhi perbuatan mereka.

Dengan kata lain, padamkanlah amarah itu sesegera mungkin. Amarah yang terus dipendam akan menggelapkan mata hati kita. Memendam amarah serupa dengan menyimpan bom waktu dalam diri sendiri – yang akan terus berdetak seiring dengan waktu. Begitu ada sedikit pemicu yang menyulut amarah terpendam itu, meledaklah amarah itu dan melukai diri kita sendiri dan orang-orang lain di sekitar kita. Dalam hal ini, Iblislah yang diuntungkan. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap amarah, agar kita tidak ditunggangi oleh keinginan daging dan diperalat oleh Iblis.

Rekan-rekan youth, firman Tuhan hari ini menggarisbawahi pentingnya mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan kita. Baik itu dalam mendengarkan, berbicara, atau menghadapi emosi, kemampuan untuk mengendalikan diri adalah tanda dari kedewasaan dan kebijaksanaan. Dalam keseluruhan, pesan dari Yakobus 1:19 mengajak kita untuk menjadi pribadi yang bijaksana, penuh kasih, dan memiliki pengendalian diri.  Itulah sebabnya, Yakobus mendorong kita untuk menjadi pelaku firman, sebab menjadi pelaku firman adalah bagian ibadah kita. 

Amin, Tuhan Yesus Memberkati

RM – SCW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *